Setiap malam, aku selalu bersujud kepadamu. Pagi, siang, dan sore,
tak lupa juga aku mengingat dirimu. Ketika manusia semakin jauh dariku, dirimu
semakin dekat. Engkau lebih dekat dari pada urat nadi leherku.
Harapan atau cita-cita, kadang dapat diwujudkan melalui dunia
pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah pula menggapai
cita-cita itu. Slogan pemerintah dan anggapan masyarakat, dengan pendidikan,
kita bisa mengubah nasib bangsa dari keterpurukan. Memang benar kata itu. Semua
mengamini. Pasalnya, dengan pendidikan itu, kita hidup dengan ilmu. Tanpa ilmu,
manusia tak ada harganya.
Aku berasal dari desa yang dalam hal ekonomi, keluargaku tidak bisa
dibilang cukup. Ekonomi serba sulit, menjadikan ayahku bertekat ingin anak-anaknya
belajar setinggi langit. Entah biaya pendidikan dari mana. Bagi ayahku, yang
penting niat dulu baru mikir financial. Keyakinan ayahku bahwa setiap orang
yang belajar, pasti diberi jalan oleh tuhan, entah itu jalan mudah atau sulit.
Ayahku memang orang nekat. Padahal saudaraku cukup banyak.
Di desaku, banyak orang tak bisa berfikir, dari mana biaya
kuliahku. Padahal aku kuliah tak sendirian. Masih ada dua saudaraku yang
kuliah. Jika dilihat dari keseharian ayahku, dia bukan pengusaha, pengacara,
pejabat, atau lainnya. Dia hanya seorang guru sekolah dan petani kecil yang
jika dipikir, gajinya tak mungkin mampu bisa membiayai aku kuliah bersama
saudara-saudaraku. Namun, dikala manusia tak mampu berpikir dengan misteri itu,
aku sudah percaya bahwa jagad raya ini sudah ada yang ngatur.
Tetanggaku banyak yang lulus dari SMA langsung bekerja. Entah itu
anak orang kaya, biasa, atau miskin. Jika anak miskin dan biasa tidak
melanjutkan kuliah itu sudah biasa. Sebab kendalanya seringkali uang. Namun
jika anak orang kaya tak melanjutkan kuliah, dan lebih memilih kuliah, itu baru
luar biasa. Aku sebagai anak orang tak mampu ternyata lebih berani kuliah dari
pada memilih kerja lebih dulu. Padahal, pemahaman tetanggaku, kuliah itu
biayanya sangat banyak. Jadi dari pada menghabisin banyak uang, lebih baik
kerja. Uang hasil kerja bisa ditabung dan bisa buat nikah atau apa saja.
Ayahku ternyata tak punya pemikiran seperti itu. Walaupun hanya
lulusan STM, dia ingin anak-anaknya jadi orang pintar. Kepintaran hanya bisa
didapat melalui dunia pendidikan pada umumnya. Walaupun dalam keadaan ekonomi
sulit, ayahku tak mau menyerah. Dia ingin semua anaknya kuliah. Entah itu
anaknya standar otaknya rendah atau tinggi, wajib kuliah.
Keinginan kuat ayahku itu dapat dukungan dari ibu. Ibu jadi
penyemangat dan pendukung ide ayahku yang gila dan brilian ini. Aku mengatakan
ini dikarenakan tetanggaku tak banyak yang meniru ide ayahku dan kebanyakan
mereka takut menyekolahkan anaknya ke jenjang PT. Ketakutan mereka dikarenakan
tak bisa bayar biaya kuliah. Padahal, jika dihitung-hitung, jumlah anak ayahku
paling banyak di kampung.
Sebelum impian ayahku terwujud, bahwa anak-anaknya harus kuliah,
dia lebih dulu meninggalkan keluarga. Akan tetapi, roh dan semangat belajar
yang diwariskan ayahku masih tetap membara. Memang ayahku tak mewariskan
apa-apa. Tak banyak harta yang ditinggalkan pada kami. Ayah hanya mewariskan
ilmu dan keyakinan pada anak-anaknya untuk bekal hidup di dunia ini.
Setelah ayah meninggal, aku diwisuda. Sedih rasanya saat wisuda,
ayahku tak hadir di sisiku. Padahal banyak kenangan dan harapan sewaktu masih
kuliah. Bagaimana tidak, sewaktu masih kuliah semester pertama, ayahku selalu
berkunjung ke asrama. Entah untuk keperluan apa, dia sering berkunjung satu
bulan sekali dan menginap di asrama. Ayahku ternyata suka melihat orang-orang
intelek di kampus, seperti mahasiswa dan dosen. Hanya melihat saja, ayahku
sudah suka. Inilah yang barangkali masih aku ingat dan tak akan aku lupakan
selama-lamanya.
Tanpa kehadiran ayah pada waktu aku wisuda, seolah memang ada yang
kurang. Namun aku tetap bahagia dengan kehadiran ibu dan saudara-saudaraku.
Mereka begitu suka. Begitu juga aku. Aku tak pernah membayangkan, ternyata aku
bisa lulus dan jadi sarjana. Padahal, pada awal-awal aku masih kuliah, banyak
kendala yang menerpa diriku hingga diriku ingin mengurungkan meneruskan kuliah
sampai akhir.
Pada waktu itu, aku termasuk orang yang mengalami kendala dalam hal
komunikasi dan sosialisasi. Semester pertama sampai semester empat, aku dihinggapi
rasa was-was berkuliah. Apakah aku tetap akan kuliah, atau aku akan berhenti.
Dilema hati yang tak menentu ini disebabkan kekuranganku dalam komunikasi dan
sosialisasi. Dalam hal komunikasi, aku tak cepat tanggap dalam berbicara. Dan
ketika ketemu teman baru, aku kesulitan memulai bicara dari arah mana, dan
pembicaraannya tentang hal apa. Kemudian dalam hal sosialisasi, aku sungguh
sangat penakut ketika bertemu lingkungan baru atau yang belum aku kenal. Ya,
kelemahanku yang penakut ini, menjadikan diriku was-was dan mamang terus
menerus. Dalam hati, aku sangat tersiksa banget. Soalnya, jika aku melihat
temanku yang dengan enjoynya bersendagurau dengan teman-teman, aku merasa iri.
Mengapa mereka bisa begitu sedangkan aku tidak. Mengapa mereka semua pemberani,
sedangkan aku tidak. Hal inilah yang menyebabkan aku mengalami tekanan batin
berkali-kali.
Karena tak tahan menahan sakitnya hati ini, aku beranikan diriku
sharing dengan orang tuaku, ayah dan ibuku. Kepada ayah dan ibuku, aku bilang
jika aku tak ingin melanjutkan kuliah. Aku ingin keluar dari kuliah ini karena
aku tertekan, penakut, dan gagap. Aku selalu terpencil dan kesepaian walaupun
dalam keadaan ramai.
Mengedengar curhatan itu, ayahku menjawab, “kamu boleh keluar dari
kuliah. Tapi besok kamu jangan menuntut aku bila saudara-saudaramu bergelar
sarjana. Soalnya ayahku sudah berusaha menyekolahkan aku, tapi aku sendiri yang
tak mau.”
Setelah ayahku, gantian ibuku menjawab. “Kamu jangan keluar dari
kuliah. Sebab sudah banyak tetangga yang pada tahu kalau kamu kuliah. Kalau
keluar, melu-maluin.”
Melihat dua jawaban kedua orang tuaku itu, aku terlebih dahulu
berfikir mengapa masalahku sebanyak ini. Masalahku ini bukan masalah orang
lain, bukan masalah ibuku dan bukan juga masalah ayahku. Jika aku lari dari
masalah ini, seperti keluar dari kuliah, apakah masalah diriku ini mudah
selesai. Jika aku hadapi dengan kejantanan, apakah aku kuat menahan tekanan
batin ini?
Dalam diriku, ada semacam dorongan untuk menghadapi masalah ini.
Jika aku keluar, belum tentu masalah ini teratasi. Bisa jadi, masalahku akan
tambah besar. Padahal aku kuliah diajarkan untuk belajar berkomunikasi dan
bersosialisasi lewat organisasi. Aku harus menghadapi masalah ini. Aku tak mau
jadi pengecut dengan keluar begitu saja dari kuliah.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya aku bisa menghadapi masalah
ini. Aku jadi pemenang dalam pertarungan hebat dan tak satupun ada orang yang
tahu tentang ini. Hanya aku adan tuhan saja.
Berbagai masalah dalam diriku ini, jika dilihat dari segi psikologi,
harus mendapat terapi khusus. Bagiku, tidak. Masalahku harus selesai dengan
diriku sendiri. Karena tuhan menciptakan masalah dengan solusinya. Pada
akhirnya, aku semakin dikenal dan dikenal di lingkungan kampus. Aku punya
banyak teman dan kenalan. Semua baik padaku. Dan aku juga tak gagap lagi dengan
komunikasi. Walaupun aku tak sepandai politikus dalam hal komunikasi, aku masih
bisa dikatakan di atas orang-orang biasa.
Setelah menempuh 7 tahun di kampus, aku menjalani prosesi yang sangat
aku tunggu-tunggu, yaitu wisuda. Bagiku wisuda adalah harga mati. Aku tak ingin
drop out dari kampus gara-gara malas buat skripsi. Aku harus bisa menyelesaikan
masalah ini, lagi-lagi dengan diriku sendiri. Dan berkah doa orang tua,
akhirnya aku bisa wisuda.
Memang hidup itu ibarat naik gunung. Tanjakan demi tanjakan, baik
yang curam maupun biasa, selalu saja terjadi dalam kehidupan. Dalam benakku,
aku mau kemana setelah lulus nanti. Aku mau kerja apa? Inilah pertanyaan yang
sulit dijawab bagi lulusan sarjana seperti diriku ini.
Sudah 3 bulan aku jadi sarjana. Namun aku belum juga mendapat
pekerjaan. Sudah mengirim surat lamaran kerja ke berbagai perusahaan, namun tak
ada hasilnya. Tak ada panggilan untuk diriku. Barangkali, aku masih lulusan
baru sore, jadi tak punya pengalaman kerja. Padahal kebanyakan perusahaan
mengutamakan orang yang sudah pengalaman kerja.
Menjadi sarjana pengangguran memang harus disikapi dengan sabar dan
tawakkal. Banyak orang yang sudah menghina, merendahkan, atau memaki gelar
sajanaku. Bagi mereka, apa gunanya gelar sarjana tapi tak bekerja? Lebih baik
lulusan SMA yang bekerja dari pada sarjana pengangguran seperti diriku ini.
Dalam menyikapi hujatan seperti itu, aku hanya tersenyum, walaupun
sesekali hati ini menangis meratapi kepedihan hujatan itu. Jika api dibalas
dengan api, api tersebut akan semakin membesar. Aku ingin jadi air. Biarkan api
itu berkobar-kobar, pada saatnya nanti, akan ada air yang dengan mudah
memadamkan api itu.
Aku sudah berusaha, ke sana kemari, keluar masuk mencari info
lowongan kuerja, dan tak henti-hentinya mengirim lamaran, namun belum ada juga
panggilan kerja. Aku hanya berperasangka baik pada tuhan, mungkin tuhan tak
mengijinkan aku jadi karyawan, namun dia lebih memilih diriku untuk jadi
pengusaha, atau bos. Inilah perasangka baikku pada tuhan. Semoga tuhan
mengabulkan semua perasangka ini. Amien.