Laman

Jumat, 21 November 2014

Cerpen: Sarjanaku Belum Menghasilkan Uang



Setiap malam, aku selalu bersujud kepadamu. Pagi, siang, dan sore, tak lupa juga aku mengingat dirimu. Ketika manusia semakin jauh dariku, dirimu semakin dekat. Engkau lebih dekat dari pada urat nadi leherku.

Harapan atau cita-cita, kadang dapat diwujudkan melalui dunia pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah pula menggapai cita-cita itu. Slogan pemerintah dan anggapan masyarakat, dengan pendidikan, kita bisa mengubah nasib bangsa dari keterpurukan. Memang benar kata itu. Semua mengamini. Pasalnya, dengan pendidikan itu, kita hidup dengan ilmu. Tanpa ilmu, manusia tak ada harganya.

Aku berasal dari desa yang dalam hal ekonomi, keluargaku tidak bisa dibilang cukup. Ekonomi serba sulit, menjadikan ayahku bertekat ingin anak-anaknya belajar setinggi langit. Entah biaya pendidikan dari mana. Bagi ayahku, yang penting niat dulu baru mikir financial. Keyakinan ayahku bahwa setiap orang yang belajar, pasti diberi jalan oleh tuhan, entah itu jalan mudah atau sulit. Ayahku memang orang nekat. Padahal saudaraku cukup banyak.

Di desaku, banyak orang tak bisa berfikir, dari mana biaya kuliahku. Padahal aku kuliah tak sendirian. Masih ada dua saudaraku yang kuliah. Jika dilihat dari keseharian ayahku, dia bukan pengusaha, pengacara, pejabat, atau lainnya. Dia hanya seorang guru sekolah dan petani kecil yang jika dipikir, gajinya tak mungkin mampu bisa membiayai aku kuliah bersama saudara-saudaraku. Namun, dikala manusia tak mampu berpikir dengan misteri itu, aku sudah percaya bahwa jagad raya ini sudah ada yang ngatur.

Tetanggaku banyak yang lulus dari SMA langsung bekerja. Entah itu anak orang kaya, biasa, atau miskin. Jika anak miskin dan biasa tidak melanjutkan kuliah itu sudah biasa. Sebab kendalanya seringkali uang. Namun jika anak orang kaya tak melanjutkan kuliah, dan lebih memilih kuliah, itu baru luar biasa. Aku sebagai anak orang tak mampu ternyata lebih berani kuliah dari pada memilih kerja lebih dulu. Padahal, pemahaman tetanggaku, kuliah itu biayanya sangat banyak. Jadi dari pada menghabisin banyak uang, lebih baik kerja. Uang hasil kerja bisa ditabung dan bisa buat nikah atau apa saja.

Ayahku ternyata tak punya pemikiran seperti itu. Walaupun hanya lulusan STM, dia ingin anak-anaknya jadi orang pintar. Kepintaran hanya bisa didapat melalui dunia pendidikan pada umumnya. Walaupun dalam keadaan ekonomi sulit, ayahku tak mau menyerah. Dia ingin semua anaknya kuliah. Entah itu anaknya standar otaknya rendah atau tinggi, wajib kuliah.

Keinginan kuat ayahku itu dapat dukungan dari ibu. Ibu jadi penyemangat dan pendukung ide ayahku yang gila dan brilian ini. Aku mengatakan ini dikarenakan tetanggaku tak banyak yang meniru ide ayahku dan kebanyakan mereka takut menyekolahkan anaknya ke jenjang PT. Ketakutan mereka dikarenakan tak bisa bayar biaya kuliah. Padahal, jika dihitung-hitung, jumlah anak ayahku paling banyak di kampung.

Sebelum impian ayahku terwujud, bahwa anak-anaknya harus kuliah, dia lebih dulu meninggalkan keluarga. Akan tetapi, roh dan semangat belajar yang diwariskan ayahku masih tetap membara. Memang ayahku tak mewariskan apa-apa. Tak banyak harta yang ditinggalkan pada kami. Ayah hanya mewariskan ilmu dan keyakinan pada anak-anaknya untuk bekal hidup di dunia ini.

Setelah ayah meninggal, aku diwisuda. Sedih rasanya saat wisuda, ayahku tak hadir di sisiku. Padahal banyak kenangan dan harapan sewaktu masih kuliah. Bagaimana tidak, sewaktu masih kuliah semester pertama, ayahku selalu berkunjung ke asrama. Entah untuk keperluan apa, dia sering berkunjung satu bulan sekali dan menginap di asrama. Ayahku ternyata suka melihat orang-orang intelek di kampus, seperti mahasiswa dan dosen. Hanya melihat saja, ayahku sudah suka. Inilah yang barangkali masih aku ingat dan tak akan aku lupakan selama-lamanya.

Tanpa kehadiran ayah pada waktu aku wisuda, seolah memang ada yang kurang. Namun aku tetap bahagia dengan kehadiran ibu dan saudara-saudaraku. Mereka begitu suka. Begitu juga aku. Aku tak pernah membayangkan, ternyata aku bisa lulus dan jadi sarjana. Padahal, pada awal-awal aku masih kuliah, banyak kendala yang menerpa diriku hingga diriku ingin mengurungkan meneruskan kuliah sampai akhir. 

Pada waktu itu, aku termasuk orang yang mengalami kendala dalam hal komunikasi dan sosialisasi. Semester pertama sampai semester empat, aku dihinggapi rasa was-was berkuliah. Apakah aku tetap akan kuliah, atau aku akan berhenti. Dilema hati yang tak menentu ini disebabkan kekuranganku dalam komunikasi dan sosialisasi. Dalam hal komunikasi, aku tak cepat tanggap dalam berbicara. Dan ketika ketemu teman baru, aku kesulitan memulai bicara dari arah mana, dan pembicaraannya tentang hal apa. Kemudian dalam hal sosialisasi, aku sungguh sangat penakut ketika bertemu lingkungan baru atau yang belum aku kenal. Ya, kelemahanku yang penakut ini, menjadikan diriku was-was dan mamang terus menerus. Dalam hati, aku sangat tersiksa banget. Soalnya, jika aku melihat temanku yang dengan enjoynya bersendagurau dengan teman-teman, aku merasa iri. Mengapa mereka bisa begitu sedangkan aku tidak. Mengapa mereka semua pemberani, sedangkan aku tidak. Hal inilah yang menyebabkan aku mengalami tekanan batin berkali-kali.

Karena tak tahan menahan sakitnya hati ini, aku beranikan diriku sharing dengan orang tuaku, ayah dan ibuku. Kepada ayah dan ibuku, aku bilang jika aku tak ingin melanjutkan kuliah. Aku ingin keluar dari kuliah ini karena aku tertekan, penakut, dan gagap. Aku selalu terpencil dan kesepaian walaupun dalam keadaan ramai.  

Mengedengar curhatan itu, ayahku menjawab, “kamu boleh keluar dari kuliah. Tapi besok kamu jangan menuntut aku bila saudara-saudaramu bergelar sarjana. Soalnya ayahku sudah berusaha menyekolahkan aku, tapi aku sendiri yang tak mau.”

Setelah ayahku, gantian ibuku menjawab. “Kamu jangan keluar dari kuliah. Sebab sudah banyak tetangga yang pada tahu kalau kamu kuliah. Kalau keluar, melu-maluin.”

Melihat dua jawaban kedua orang tuaku itu, aku terlebih dahulu berfikir mengapa masalahku sebanyak ini. Masalahku ini bukan masalah orang lain, bukan masalah ibuku dan bukan juga masalah ayahku. Jika aku lari dari masalah ini, seperti keluar dari kuliah, apakah masalah diriku ini mudah selesai. Jika aku hadapi dengan kejantanan, apakah aku kuat menahan tekanan batin ini?

Dalam diriku, ada semacam dorongan untuk menghadapi masalah ini. Jika aku keluar, belum tentu masalah ini teratasi. Bisa jadi, masalahku akan tambah besar. Padahal aku kuliah diajarkan untuk belajar berkomunikasi dan bersosialisasi lewat organisasi. Aku harus menghadapi masalah ini. Aku tak mau jadi pengecut dengan keluar begitu saja dari kuliah. 

Seiring berjalannya waktu, akhirnya aku bisa menghadapi masalah ini. Aku jadi pemenang dalam pertarungan hebat dan tak satupun ada orang yang tahu tentang ini. Hanya aku adan tuhan saja. 

Berbagai masalah dalam diriku ini, jika dilihat dari segi psikologi, harus mendapat terapi khusus. Bagiku, tidak. Masalahku harus selesai dengan diriku sendiri. Karena tuhan menciptakan masalah dengan solusinya. Pada akhirnya, aku semakin dikenal dan dikenal di lingkungan kampus. Aku punya banyak teman dan kenalan. Semua baik padaku. Dan aku juga tak gagap lagi dengan komunikasi. Walaupun aku tak sepandai politikus dalam hal komunikasi, aku masih bisa dikatakan di atas orang-orang biasa. 

Setelah menempuh 7 tahun di kampus, aku menjalani prosesi yang sangat aku tunggu-tunggu, yaitu wisuda. Bagiku wisuda adalah harga mati. Aku tak ingin drop out dari kampus gara-gara malas buat skripsi. Aku harus bisa menyelesaikan masalah ini, lagi-lagi dengan diriku sendiri. Dan berkah doa orang tua, akhirnya aku bisa wisuda.

Memang hidup itu ibarat naik gunung. Tanjakan demi tanjakan, baik yang curam maupun biasa, selalu saja terjadi dalam kehidupan. Dalam benakku, aku mau kemana setelah lulus nanti. Aku mau kerja apa? Inilah pertanyaan yang sulit dijawab bagi lulusan sarjana seperti diriku ini.

Sudah 3 bulan aku jadi sarjana. Namun aku belum juga mendapat pekerjaan. Sudah mengirim surat lamaran kerja ke berbagai perusahaan, namun tak ada hasilnya. Tak ada panggilan untuk diriku. Barangkali, aku masih lulusan baru sore, jadi tak punya pengalaman kerja. Padahal kebanyakan perusahaan mengutamakan orang yang sudah pengalaman kerja.

Menjadi sarjana pengangguran memang harus disikapi dengan sabar dan tawakkal. Banyak orang yang sudah menghina, merendahkan, atau memaki gelar sajanaku. Bagi mereka, apa gunanya gelar sarjana tapi tak bekerja? Lebih baik lulusan SMA yang bekerja dari pada sarjana pengangguran seperti diriku ini.

Dalam menyikapi hujatan seperti itu, aku hanya tersenyum, walaupun sesekali hati ini menangis meratapi kepedihan hujatan itu. Jika api dibalas dengan api, api tersebut akan semakin membesar. Aku ingin jadi air. Biarkan api itu berkobar-kobar, pada saatnya nanti, akan ada air yang dengan mudah memadamkan api itu.

Aku sudah berusaha, ke sana kemari, keluar masuk mencari info lowongan kuerja, dan tak henti-hentinya mengirim lamaran, namun belum ada juga panggilan kerja. Aku hanya berperasangka baik pada tuhan, mungkin tuhan tak mengijinkan aku jadi karyawan, namun dia lebih memilih diriku untuk jadi pengusaha, atau bos. Inilah perasangka baikku pada tuhan. Semoga tuhan mengabulkan semua perasangka ini. Amien.

Cerpen: Sahabat Dekat Jadi Jauh



Entah mengapa, hidup ini rasanya susah bagiku. Satu persatu orang terdekatku mulai jauh. Tentunya ada penyebab yang dalam dugaanku sudah aku ketahui. Tapi jika ini adalah sekenario tuhan, semoga aku kuat menjalani. Semoga aku mampu menyelesaikan tugas ini demi prasangka baikku pada tuhan. Aku masih percaya kalau di luar diriku, ada yang mengendalikan. Dia tidak lain adalah tuhan yang maha esa.

Sewaktu masih  kuliah dulu, hikam, fahmi, dan wawan, merupakan sosok yang setia dengan aku. Ketiga temanku itu sering berjalan bersama ke mana-mana. Suka duka kami rasakan. Ketika mendapat rejeki, kami saling berbagi. Ketika mendapat cobaan, kami pun saling membantu. Tak ada jarak dan tak ada sekat sedikit pun. Kini, semua yang kami alami bersama sewaktu kuliah dulu, hanya kenangan manis, yang tak se-manis gula. Kenangan manis itu kini jadi pahit. 

Berawal dari kedatangan hikam pada malam hari ke kampus, entah mengapa hatiku begitu senang. Hikam adalah teman baikku yang sudah lulus lebih dulu. Dia kembali ke kota kelahirannya dan jadi pengajar di sekolah. Sesekali setiap hari libur, dia main ke kampus. Aku tak pernah benci dia kalau dating ke kampus. Hatiku selalu bahagia bertemu dia, walaupun sebentar.

Aku sudah tak tinggal di asrama kampus lagi. Aku sudah pindah di masjid menjadi takmir. Masjid jadi pilihan tempat tinggalku karena tidak usah bayar jika ingin menempatinya. Sebagai takmir, tiap hari kewajibanku adalah membersihkan masjid, seperti menyapu, mengepel, dan meramaikan masjid dengan kegiatan islami.

Hikam mengabari kalau dirinya akan ke kampus. Dari kabar SMS yang dikirim ke HP, aku membalas, ok bos….nanti nginap di masjidku. Soalnya aku sudah tidak tinggal di asrama kampus. Setelah aku balas, hikam tak membalas lagi.

Setelah aku mendapat kabar dari hikam, segera taman-teman takmir aku kabari, kalau nanti ada temanku yang mau nginep di masjid. Aku member tahu kabar agar teman takmir masjidku tidak kaget kalau ada tamu, yang barangkali jika tidak aku kasih tahu lebih dahulu akan sungguh merepotkan mereka. Sebagai orang baru di masjid, aku harus tahu dan menjaga perasaan sesame teman, walaupun aku tahu teman-temanku sangat tidak keberatan.

Aku menunggu cukup lama balasan tadi. Tapi, sampai 2 jam tak kunjung ada balasan SMS. Aku tak pernah berperasangka buruk terhadap teman satuku ini. Bagiku, dia orang baik. Walaupun SMS tidak dibalas, aku cukup santai-santai saja.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya aku SMS duluan. Kam, kamu sudah sampai di kampus belum? Kalau sudah, kamu nginap di tempatku saja……..
Beberapa menit kemudian, aku dapat balasan…….
Aku sudah di kampus, kamu ke sini aja……
Aku jawab, OK----

Akhirnya aku pergi ke kampus memenuhi permintaan hikam tadi. Seperti biasa, ketika ketemu sahabat lama, selalu aja canda tawa khas kami. Ternyata di kampus, hikam sudah ketemu fahmi dan wawan. Mereka sedang bermain game playstation. Mereka khusyuk menikmati permainan yang sudah lama pisah. Beberapa candaan di antara kami masih terlihat enak, khas, dan lucu. Saking asyiknya, aku minta hikam main ke tempatku, masjid. Namun, permintaanku ini tak pernah mendapat tanggapan. Dia asyik dengan permainan gamenya. Padahal, waktu sudah malam, sedangkan wawan dan fahmii sudah kembali ke kos. Kini tinggal aku dan hikam.

Berbagai permintaan dan bujukan agar hikam mau main ke tempatku sudah aku lakukan. Dengan nada ketus, dia menjawab yang menurutku sangat tidak enak jika di telan di hati. Aku coba untuk bersabar. Barangkali, jawaban kasarnya itu sebab kecapek’an dia sewaktu perjalan. Dan akhirnya, akupun mengalah, dan menemani dia tidur di asrama sampai pagi.

Aku masih berkeinginan mengajak dia main ke tempatku. Sebab selama dia main ke kampus, belum pernah mampir ke masjid sebagai tempat tinggalku.  

“kam, ayo mampir ke masjid, nanti tak kasih makan…., pintaku pada hikam.
“wah, aku malu ke masjid, soalnya itu tempat umum, banyak orang yang beribadah di sana. Enak disini, jawab hikam.
“sebentar saja, nanti kamu langsung pulang setelah dari masjid, balasku…
“kamu sendiri saja ke masjid, ogah aku ke sana. Aku pengen di asrama saja.

Setelah bujuk rayuku tak mempan menaklukkan hikam, akhirnya aku ke masjid sendiri. Soalnya, jika aku berlama-lama di asrama kampus, kewajibanku sebagai takmir akan terlantar. Padahal aku punya jadwal adzan, imam, dan sarasehan dengan pemuda setempat. Jika aku tak segera kembali, kemungkinan aku akan sangat malu. Selain malu, aku juga akan dimarahi oleh ketua takmir yang cukup galak.

Seakan harapanku bertepuk sebelah tangan. Padahal sewaktu hikam belum sampai di kampus, aku sudah minta ijin ke teman-teman takmir kalau nanti ada temanku yang mau datang. Dengan dia tidak mau mampir ke masjid itu, aku sungguh sangat kecewa. Padahal aku ingin agar dia tau kalau aku sekarang di masjid. Itu saja.

Sampai detik ini, entah ini prasangka burukku atau bagaimana, setelah kejadian itu, hikam sudah tak pernah main lagi ke kampus. Aku sering SMS dia, walau isi SMS ku hanya sebatas basa-basi. Namun, hanya balasan biasa. Tak seindah dulu. Hikam pun jarang sekali SMS, dan bahkan sama sekali tidak pernah. 

Barangkali keadaan ini karena kesalahankku. Aku memang kurang dalam berkomunikasi. Aku tak mampu menjaga pertemanan ini seperti dulu…….maafkan aku….kawan….aku masih tetap menganggap dirimu teman terbaikku…………………………